Pada 16 Januari 1942, saya lahir dalam keluarga ‘ultra-Katolik’ di lingkungan masyarakat yang juga sangat Katolik di Breda, Belanda. Tak heran, di tengah-tengah suasana Katolik pra-Konsili Vatikan II, yang sangat mengagung-agungkan kuantitas dan banyak anak itu, saya terlahir sebagai anak ke-10 dari 12 bersaudara.
Usai sekolah menengah seminari, sebagai seorang frater SSCC (Congregatio Sacrocum Cordium Iesu et Mariae Necnon Adorationis Perpetuae Sanctissimi Sacramenti Altaris atau Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria), saya belajar teologi. Hanya beberapa tahun saja saya menjadi biarawan SSCC, kemudian berubah status menjadi awam dan mulai menekuni studi bahasa Arab dan Islam. Salah satu dosen kami yang memiliki reputasi tinggi ialah seorang guru besar yang juga Pastor Jesuit, Jean Houben, SJ (1904-1973) – ahli pemikiran filsafat Islam Klasik, khususnya Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Ia pernah mengajar di Beirut, Lebanon, dan Baghdad, Irak. Posisi keyakinan orang intelek ini sangat menarik. Menurutnya, orang Kristen Katolik maupun Protestan akan bersatu kokoh dan tak perlu ada perpisahan, jika keduanya berpegang dan setia pada ajaran Thomas Aquinas (1125-1274). Pararel untuk komunitas Muslim, hal yang sama akan berlangsung. Semua umat Muslim, baik Sunni atau Shi’a, maupun ahli fiqih atau penghayat tasawuf, akan bersatu jika berpegang pada ajaran Ibn Sina dan Ibn Rushd.
Perlu diketahui, Aquinas mengutip Rushd ratusan kali dalam karya-karya tulisnya. Ia menyebut Rushd sebagai musafir, yakni orang yang memiliki kejelian dalam menjelaskan dan menafsirkan. Siapa yang menjadi obyek interpretasi dua pemikir agung dari dua agama ini? Tiada lain ialah Aristoteles, sang filsuf klasik Yunani yang hidup tahun 350 SM.
Profesor Houben selalu memulai kuliahnya dengan beberapa uraian mengenai Aristoteles dan tak lupa memberikan kutipan bahasa Yunaninya. Dengan penuh kekaguman, Houben mendemonstrasikan bagaimana Ibn Sina dan Ibn Rushd dengan penuh kebijaksanaan dan keberanian, bereksperimen dengan mengawinkan pemikiran Arab dengan Yunani. Hasil perkawinan inilah yang digunakan dan dikembangkan oleh para teolog Kristen abad XIII, salah satunya Thomas Aquinas. Setidaknya ada satu hal yang membuat saya terkesan, yakni kesimpulan intelektual Houben yang menggarisbawahi bahwa Aristoteles, bukan Abraham, yang menjadi titik kontak pertemuan antara Kristen dan Islam.
Demikianlah awal perjumpaan saya dengan Islam. Perjumpaan intelektual yang menjadi benih karier akademis yang saya tekuni hingga 40 tahun berikutnya.
Pada Maret 1970
Saya mengalami perjumpaan langsung dengan umat Islam yang konkret dan sungguh hidup. Ini terjadi di Indonesia. Saya mendapat beasiswa untuk tinggal enam bulan di pondok pesantren. Saking murahnya biaya hidup di pondok, jatah enam bulan bisa saya gunakan untuk satu tahun. Kota pertama yang saya datangi adalah Bandung, Jawa Barat. Untuk memperlancar bahasa Indonesia, tiap pagi saya ikut kuliah subuh pukul 05.00 di Masjid Mujahidin Bandung. Saya ikut duduk bersila dengan beberapa gelintir jamaah dan santri. Bandung kala itu terasa sangat sejuk dan tenang.
Rencana awal penelitian saya ialah studi tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Lalu saya melihat, bahwa studi semacam itu melulu pekerjaan di perpustakaan dan membaca buku. Saya segera berbalik untuk mencari bentuk penelitian yang memungkinkan saya bertemu dan mengalami perjumpaan dengan orang-orang secara konkret. Pertanyaan pokok penelitian saya adalah bagaimana dunia pesantren memiliki kemampuan dan kelenturan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan modern di Indonesia.
Saya berkeliling ke beberapa pesantren di Jawa dan Sumatera. Saya gunakan ‘metode bidan’ untuk penelitian ini. Metode ini ditanda dengan proses bertanya dan menunggu hingga realitas menampakkan diri. Kehadiran yang panjang saya alami di Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur. Posisi saya tinggal dan hidup di sana ialah sebagai orang Katolik dan tetap mau menjadi Katolik, tetapi ingin sungguh menghidupi seluruh cara hidup sehari-hari para santri itu.
Saya pun menghadap K.H. Imam Zarkasyi, pimpinan dan salah seorang pendiri pondok pesantren modern Gontor, agar diperbolehkan ikut sholat berjamaah. Kyai Zarkasyi merasa terkejut mendengar ide ini. Saya mengatakan, Allah yang menjadi kepercayaan orang Kristen itu sungguh satu, dan mengakui bahwa Muhammad sungguh nabi. Bagi saya, lebih mudah dan terasa nyaman di hati untuk membuat wudu dan shalat daripada ikut dia satu kelompok Kristen yang memiliki tatacara melambai-lambaikan tangan sambil beseru ‘Haleluya’. Tujuh kata al-Fatiha juga sangat dekat dengan doa Bapa Kami. Keduanya dimulai dengan pujian pada Pencipta alam semesta, harapan untuk berada di jalan yang lurus, dan mengakui bahwa manusia itu lemah dan bisa berdosa. Akhirnya, saya diperbolehkan untuk ikut shalat juga.
Pada acara perpisahan, sebelum saya pulang ke Belanda, Kyai Zarkasyi bertanya apakah ia diperbolehkan mendoakan saya agar menjadi seorang Muslim yang tulen dan penuh. Karena ‘Muslim’ itu artinya ‘berserah diri pada kehendak Tuhan’, saya pun tak berkeberatan. Bahkan, saya anggap ini merupakan gesture yang baik juga.
Sejak Tahun 1981
Saya diundang untuk mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta dan Yogyakarta, masing-masing sekitar tiga dan empat tahun. Pengalaman sekitar tujuh tahun ini tentu penuh dengan warna. Posisi saya sebagai seorang non-Islam yang mengajar Islam tentu perkara yang tak mudah. Di satu pihak, saya harus jujur dan setia pada keyakinan sendiri; dan di lain pihak, juga harus hati-hati agar tidak diberhentikan dari tugas atau hilangnya visum izin tinggal di negeri ini.
Akhir September 2001, hanya dua atau tiga minggu setelah tragedi World Trade Center (WTC), di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, secara tidak sengaja saya bertemu dengan seorang tokoh Islam di negeri ini. Ia menyandang posisi-posisi penting dalam peta organisasi Islam di sini. Awal 1980-an ketika saya mengajar di IAIN Ciputat, Jakarta, ia menjadi mahasiswa saya. Saya bimbing penulisan skripsinya dengan konsentrasi Irenologi, yaitu studi tentang isu-isu perdamaian. Ia membuat kesimpulan bahwa perang dalam sejarahnya lahir karena perbedaan dan pertentangan antara yang kaya dan miskin; masyarakat kaya menaklukkan masyarakat miskin. Hanya dengan mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan miskin, perdamaian dunia menjadi lebih mungkin.
Pada saat pertemuan tak sengaja di bandara itu, ia sudah menjabat sebagai salah satu pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Baru saja MUI merumuskan sebuah fatwa untuk menanggapi ancaman Amerika Serikat menyerang Afghanistan yang memberikan perlindungan pada Osama bin Laden. Dalam suasana panas minggu-minggu itu, ia bercerita bahwa MUI sudah membuat draft fatwa. Andaikata masyarakat Islam di Afghanistan diserang oleh kaum kafir Amerika, atas dasar ukhuwa islamiya, umat Muslim Indonesia akan membela mereka dengan panggilan al-jihad fi sabilillah. Saya mencoba menjelaskan padanya sikap Gereja Katolik lewat upaya Paus waktu itu. Meski dalam suasana konflik panas saat itu, Paus tetap pergi ke Kazahkstan dan menyerukan bahwa krisis Islam dan Kristen (Barat) hendaknya diselesaikan lewat dialog dan jalan damai.
Tokoh Islam ini tidak setuju dengan jalan yang diusulkan itu dengan dua alasan. Pertama, begitulah ajaran Islam mengenai perang atau jihad sebagai aksi bela diri, andaikata ada serangan dari pihak musuh. Kedua, ia sudah kerap melakukan dialog dengan pimpinan Gereja, tetapi tidak ada hasilnya. Kristenisasi dengan mengandalkan uang berjalan terus. Dialog hanya cocok untuk para akademisi dan aktivis perdamaian. Para ilmuwan kerap tidak paham dengan kerasnya kenyataan di lapangan.
Jadi, jangan membayangkan atau berpikir bahwa ahli agama bisa mengubah dunia …
Sumber : Majalah HIDUP, Edisi 04 Tahun ke-68, 26 Januari 2014, hlm. 8-11